Friday, March 30, 2007

Garasi the movie

Garasi/Garage (Indonesia, 2006, 110 minutes)

Review by Rohayati Paseng

A Miles Films production. Producer, Mira Lesmana. Director, Agung Sentausa. Screenplay, Prima Rusdi. Cinematography, Yadi Sugandhy. Editor, Dewi S. Alibasah.



Cast:
Fedy Nuril - Aga
Ayu Ratna - Gaia
Aries Budiman - Awan
Jajang C. Noer - Tari
Niniek L. Karim - Eyang Tanti


It is not a surprise that a film with a strong musical element was produced by Mira Lesmana. She herself comes from a family with solid musical background. Her father, Jack Lesmana, is one of the most famous Indonesian jazz musicians, and her brother, Indra Lesmana, is equally prominent and influential in the Indonesian jazz scene today.

I have read that some viewers were frustrated by what they perceived as lack of story in Garasi. The complaint might have been caused by their own misunderstanding of what the film is all about. While rock music (juxtaposed with gamelan) is an important tool to tell the story, the film is not just about rock music and the up and down friendship of the band members (Aga, Gaia, and Awan). It is also about social class and isolation. The story of Aga and Gaia is a story about everyone who dares to step out of the box and walk against the mainstream in order to pursue their true passions and to find who they really are.

Aga grew up in a family that upholds traditional music (his mother is a director of gamelan ensemble) while he is strongly drawn into rock music, thus making him an outsider within his own family. The scene that summarizes his feeling of isolation is a conversation between him and his brother in which he confronts his brother for not accepting his music. Gaia is even more an outsider than Aga. Like him, she also comes from a line of musicians (we know more about her background much later into the film). She was born out of wedlock. Her father, a married lead singer of an unnamed band in the film, had an affair with his backup singer, Gaia’s mother, and so she was conceived. Her story has another angle, which is summarized in a scene where her maternal grandmother (Eyang Tanti) tells her that she should have never been born. She should have been aborted but her defiant mother refused to have the abortion. Eyang Tanti doesn’t accept Gaia not because she was born out of wedlock but, almost worse, because she was fathered by a poor married musician.

Audiences who are in tune with Indonesian pop culture will find themselves amused by several references to prominent pop culture icons such as Benjamin S., Keenan Nasution and others. The cinematography is beautiful, the soundtrack is superb, and the editing is good. I only wished that all the song lyrics were translated, because they would have provided nuances of the film to viewers who depend on the subtitles. All and all, Garasi is a fresh portrayal of young people, and a critical view of isolation and social class in Indonesia. The film, through the story of mainly Aga and Gaia, who, marginalized, find common ground in their music, provides us with yet another perspective on contemporary Indonesian society.

See also here

Saturday, March 24, 2007

Poco-Poco

POCO-POCO
by Yopie Latul

Balenggang pata-pata
Ngana pe goyang pica-pica
Ngana pe bodi poco-poco

Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing

Ngana bilang
Kita na sayang
Rasa hati ini malayang
Jau… uh… ci ya … ci ya

Biar kita ngana pe bayang
Biar na biking layang-layang
Cuma ngana yang kita sayang

Poco1Menghadap ke Utara : a, b, c, d.
4d, membuat kita menghadap ke Barat

Menghadap ke Barat : Ulangi a, b, c, d,
4d, membuat kita menghadap ke Selatan

Menghadap ke Selatan : Ulangi a, b, c, d,
4d, membuat kita menghadap ke Timur

Menghadap ke Timur : Ulangi a, b, c, d,
4d, membuat kita menghadap ke Utara

GERAKAN VARIASI 1: Lakukan a, b, c, (k, m), d menghadap U, B, S, T dst.



Poco2

Musik & Lirik (Bahasa Manado): Arie Sapulette
gambar oleh: Irianto Tedja

Sumber: Yopie Latul - Poco-Poco

The Poco-Poco is a popular line dance which originally comes from the Minahasa people in Sulawesi. The steps are said to originate from farming activities such as picking cloves, planting rice, hoeing the fields and peeling coconut fibre.
The Poco-poco dance become very popular throughout Indonesia a few years ago and has been integrated into aerobic classes and at dance schools throughout Indonesia. It has become one of many dances that young and old want to learn. Many organisations hold Poco-poco dance competitions and it is also a popular dance for celebrations such as weddings, birthdays and Independence Day.



Get this widget | Track details |eSnips Social DNA

Wednesday, March 21, 2007

Hari-hari Libur Nasional 2007

1-Jan-2007 Tahun Baru Masehi






















20-Jan-2007 Tahun Baru 1428 Hijriyah





















18-Feb-2007 Tahun Baru Imlek























19-Mar-2007 Hari Raya Nyepi Saka 1929




















31-Mar-2007 Maulid Nabi Muhammad SAW




















6-Apr-2007 Wafat Isa al-Masih






















17-May-2007 Kenaikan Isa Almasih






















18-May-2007 Cuti bersama, menyambut Kenaikan Isa Almasih
















1-Jun-2007 Hari Raya Waisak























11-Aug-2007 Isra' Mi'raj
























17-Aug-2007 Hari Kemerdekaan RI






















12-Oct-2007 Cuti bersama, sebelum hari raya Idul Fitri

















13-Oct-2007 Idul Fitri 1 Syawal 1428 H





















14-Oct-2007 Idul Fitri 1 Syawal 1428 H





















15-Oct-2007 Cuti bersama, sesudah hari raya Idul Fitri

















16-Oct-2007 Cuti bersama, sesudah hari raya Idul Fitri

















20-Dec-2007 Idul Adha 1428 H























21-Dec-2007 Cuti bersama, sesudah hari raya Idul Adha

















24-Dec-2007 Cuti bersama, sebelum hari raya Natal


















25-Dec-2007 Hari Raya Natal







Thursday, March 15, 2007

Tentang Disable dan Difable

Dikalangan pegiat LSM istilah Difable tentu tidak asing tapi bagi kalangan masyarakat yang lain istilah ini tentu sangat asing dan mengundang diskusi yang menarik. Berikut petikan dari diskusi yang muncul mengenai masalah ini di milis permias hawaii. Just for thought.

Kotributor Ulrich Kozok, Muhamad Ali dan Hari Roosman, sesuai urutan:
------------------------------------------------------------------------------

Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata cacat dan penyandang cacat. Apaakah berkurang cacatnya seseorang kalau ia disebut difable? Eufemisme ( penghalusan bahasa) dalam bahasa Indonesia mempunyai sejarah lama, dan banyak eufemisme diciptakan di zaman rejim orba yang tidak pernah “menaikkan” dan hanya “menyesuaikan” harga BBM dan masalah gelandangan diselesaikan dengan istilah tunawisma. Di Amerika kejahatan perang disebut “war crimes”, tetapi kata tersebut pantang diucap kalau Israel yang melakukannya dalam hal mana istilah “violation of humanitarian law” digunakan. Pembunuhan warga sipil oleh tentara Amerika disebut “collateral damage” dan bukan “civil casualties” meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Terlalu sering eufemisme menyelubungi kemunafikan sehingga kita harus sangat berhati-hati menggunakan eufemisme. Saya juga lebih tidak setuju kalau dipinjam istilah dari bahasa asing (apakah bahasa Indonesia dianggap kurang bergengsi?), apalagi dalam hal penciptaan akronim yg notabene tidak ada dalam bahasa Inggris.

Yang berikut ini bukan dari saya sendiri, melainkan saya kutip dari http://priyadi. net:

“Yang menjadi masalah adalah istilah ‘difable’ tidak mengikuti kaidah ejaan bahasa Indonesia dengan benar. Jika memang ‘difable’ adalah singkatan yang berasal dari frasa dalam bahasa Inggris, maka setelah melalui proses penyerapan seharusnya paling tidak akan menjadi ‘difabel’. Sisi positifnya, penggunaan kata ‘difabel’ ternyata memang sudah lebih banyak daripada kata ‘difable’. Pencarian di Google mencatat ada 600 penggunaan kata ‘difabel’ dan 388 kata ‘difable’.

Masalah lainnya yang lebih serius adalah bahwa banyak orang Indonesia yang tidak menyadari bahwa ‘difable’ bukanlah sebuah kata dalam bahasa Inggris. Istilah ‘difable’ ini dibuat oleh orang Indonesia, digunakan hanya oleh orang Indonesia, tidak ada dalam kamus bahasa Inggris apapun dan tidak pernah digunakan oleh orang berbahasa Inggris. Ini cukup serius karena saya lihat cukup banyak literatur berbahasa Inggris buatan orang Indonesia yang menggunakan istilah ‘difable’ ini.”

Jadi sudah jelas ada kerancuan bahasa yang terlalu sering terjadi dalam hal penyerapan bahasa asing yang malahan dapat melahirkan istilah superrancu seperti “Pemberdayaan Gender”.
--------------------------------------------------------------------------------

Kawan-kawan,
Menarik sekali diskusi soal bahasa ini. Jadi ingin nimbrung sedikit nih, disela nulis disertasi. Pendapat saya, bahasa itu dibentuk oleh masyarakat. Bahasa itu berkembang dari waktu ke waktu. Bahasa itu tidak statis. Bahasa dicipta, sebagian bertahan, sebagian punah, karena masyarakat tidak memakainya. Jadi ada hubungan erat antara bahasa dan penggunanya. Jadi, bisa saja, ada bahasa yang kedengaran asing, nyeleneh, tidak lazim, tapi kemudian lambat laut diterima sebagian masyarakat. Ada pula istilah-istilah yang sebelumnya tidak ada dalam suatu masyarakat tapi kemudian muncul dari bahasa asing dan kemudian diinternalisasi masyarakat itu. Bahasa "Indonesia" adalah percampuran bahasa-bahasa asing (Arab, Cina, Melayu, Belanda, Inggris, Portugis, dan bahasa-bahasa suku yang ada). Karena itulah ada standardisasi bahasa nasional yang dilakukan oleh Departemen Agama, sehingga mereka buat kamus umum bahasa Indonesia. Namun, meskipun ada standardisasi bahasa nasional ini, tidak berar
ti bahasa-bahasa yang tidak standar tidak bisa digunakan oleh masyarakat tertentu.

Yang menjadi persoalan dan perlu dikritisi adalah maksud penggunaan istilah-istilah itu, dan apa makna sesungguhnya. Karena bahasa adalah alat komunikasi antara si penulis/penutur dan si pembaca/pendengar, maka perlu ada KESAMAAN MAKNA dari istilah yang digunakan, sehingga komunikasi berjalan efektif. Saya ingat perkataan Claude Levi-Strauss yang pernah saya kutip dalam sebuah artikel saya di jurnal di Paris. Saya tulis, "I would agree with the French philosopher Claude Lévi-Strauss. “Words”, he says, “are instruments that people are free to adapt to any use, provided they make clear their intentions.” Categorization becomes useful and helpful if it clarifies what one is trying to say in order to facilitate communication and understanding. However, while clarity is important in the academic enterprise, the content of any category can be questioned and debated based on new perspective, new materials, or both." Jadi, kata-kata itu adalah alat yang orang bebas mengadaptasinya
sejauh dia menjelaskan maksudnya.

Soal lain adalah masalah motivasi dan kepentingan dibalik penggunaan istilah-istilah. Kepentingan politik sering sangat mempengaruhi penggunaan istilah-istilah tertentu sebagai penghalus; maka tugas masyarakat adalah mengkritisi istilah-istilah itu. Masyarakat ada yang cukup cerdas dan yang pengekor saja. Namun istilah-istilah itu akan mati sendiri kalo masyarakat dan zaman tidak lagi menganggapnya sebagai "pantas", "enak didengar", "menarik", "keren", dan sebagainya.

Kesimpulan saya adalah, dalam menanggapi kata-kata baru, kita perlu kritis, tapi kita tidak perlu langsung menerima atau menolaknya. Masyarakat lah, termasuk kita, yang menentukan, apakah istilah-istilah tertentu layak bertahan atau mati dikubur zaman.
------------------------------------------------------------------------------

Seperti Ali menunjukkan, Bahasa Indonesia memang senantiasa berkembang dan kaya karena pengaruh Bahasa Arab, Belanda, Melayu, Sanskerta, Tionghoa, dan lainnya. Sesungguhnya Bahasa Indonesia itu indah dan kaya. Contohnya, sewaktu saya pernah membaca "Harimau Harimau" oleh Mukhtar Lubis. Buku ini dalam bahasa Indonesia , sangat bagus dan salah satu buku kesayangan saya. Beberap tahun kemudian, saya membaca terjemahannya Inggrisnya. Versi Inggrisnya sama sekali tidak mendekati keindahan dan dampak versi asli (Begitupun jika anda menonton film asing. Jauh lebih bagus dan berkesan jika menggunakan sub-text daripada dubbing Inggris).Perhatikan juga gaya tulis Mukhtar Lubis dan penulis perdana lainnya; mereka cenderung untuk menggunakan Bahasa yang murni, dan menggunakan istilah-istilah Barat sejarang mungkin.

Yang saya tidak setuju adalah pertama, penggunaan istilah Barat bilamana kata Indonesia mencukupi; dan kedua, untuk pamer pendidikan atau status sosial. Ini sama saja dengan Bahasa Inggris , Indonesia , dan Bahasa apapun: gunakan kata yang sederhana yang semua pembaca dapat mengerti. Contoh bagus adalah bahasa gaya jurnalis; anda membaca kalimat sekali dan langsung mengerti tidak perlu mengulang kembali kalimat itu, dan, anda tidak perlu konsultasi kamus untuk istilah-istilah aneh. Sebelum menulis, perlu anda kurang lebih ketahui target pembaca anda. Jika pembaca anda adalah anggota masyarakat ahli bahasa, penggunaan istilah "silogism", "aliterasi", "hiperbola", dll. bukan masalah. Kalau sekiranya ada kemungkinan tidak akan mengerti istilah baru, paling tidak perlu diberi keterangan singkat. Memang, risikonya jika anda perlu memberi ke pembaca luas keterangan istilah-istilah asing, pembaca dapat merasa penulis menulis 'ke bawah' kepada pembaca tingkat pendidikannya lebih rendah. Jadi, untuk menghindari semua ini, hemat saya, dari pertama lebih baik menggunakan istilah sederhana saja. Sebenarnya dalam menulis jika anda berusaha lebih keras, kalimat dan kata itu bisa dibuat sederhana untuk dimengerti hampir semua pembaca . Lihat para pengacara wahid dalam kasus-kasus yang sangat rumit seperti kasus Enron. Mereka dapat menjelaskan kepada juri awam yang tidak tahu apa-apa tentang konsep-konsep rumit yang meliputi valuta asing, pensiun, akuntansi. Hampir selalu, mereka menggunakan istilah-istilah sederhana yang dimengerti semua pembaca dan pendengar. Saya teringat nasihat Albert Einsten, "buatlah sesederhana mungkin, tapi tidak lebih sederhana dari itu."

Menurut pengamatan saya, penggunaan istilah-istilah Barat, khususnya Inggris, didalam Bahasa Indonesia juga disalah-gunakan sebagai status sosial atau sumber gengsi. Menggunakan kata-kata atau istilah-istilah Indonesia yang bersumber dari bahasa Arab, Tionghoa, Melayu, saya rasa tidak untuk tujuan elitis seperti ini. Saya sering membaca wawancara-wawancara di majalah Indonesia , atau teman-teman di Jakarta mencampur aduk Bahasa Indonesia dengan kata-kata dan istilah Inggris. Apakah orang lebih bergengsi jika mencampur aduk Bahasa Indonesia anda dengan istilah Inggris. Menurut saya tidak. Ini juga pengaruh "Singlish", atau bahasa Melayu-Inggris yang biasanya digunakan di kota-kota metropolitan Malaysia dan di Singapura. Jika di Malaysia atau Singapura, jika anda bercakap Singlish, konotasi elitismenya adalah anda dari kota metropolitan daripada dari desa, lebih berpendidikan, dan status ekonomi dan sosialnya lebih tinggi. Pokoknya lebih bergengsi deh kalau anda bercakap Singlish. Jika mereka menganggap logat Singlish keren, ada masyarakat luas termasuk saya yang gregetan dan geleng-geleng kepala karena menganggapnya justru sebaliknya. Kalau menggunakan, "It's OK" atau "Oh, my God",ya..ya deh..wajarlah, tapi sering sekali terlalu dipaksakan. Saya ingat ada yang pernah bilang kenapa, "Eh, face lu kenapa?". Kenapa tidak bilang, "Eh, muka lu kenapa?". Susah amat. Kalau menggunakan Singlish karena memang itu memang standar percakapan diantara komunitas dan lingkungan tertentu ya tidak apa-apa, tapi kalau menggunakan campur-aduk Melayu/Indonesia dan Inggris untuk pamer Inggris dan status sosial, itu lain perkara. Seperti pamer jurus silat, jika orang menggunakan istilah-istilah Inggris di dalam Bahasa Melayu/Indonesia mereka, belum tentu mereka bisa menggunakan Bahasa Inggris yang baik jika mereka menggunakan Bahasa Inggris dengan seluruh.

Kesimpulan saya adalah kata difabel itu membingungkan dan saya yakin ada istilah lain dari Bahasa Indonesia sendiri yang lebih baik digunakan. Dari sekian ribu ahli Bahasa Indonesia, tentu ada istilah lebih baik yang dapat digunakan. Jika menelaah latar belakangnya tanpa pengetahuan apa-apa mengenainya, saya berani tebak 8 dari 10 orang tidak akan tahu bahwa ini berdasarkan singkatan dua kata Inggris, dan lebih membingungkan lagi, istilah ini tidak berlaku di tempat asalnya sendiri. Dan kata ini menggangu momentum dan pola pikiran topik yang kita baca – perlu kita Google dan cari di kamus dan tanya sana sini. Apa yang menjadi diskusi mengenai peraturan UGM yang perlu diralat menjadi diskusi mengenai kata -- bukan masalah diskusi bahasa, tapi mencong jauh dari topik aslinya. Ini kesalah-pahaman saya dalam interpretasi difabel: Pertama, kesalah pahaman saya adalah menebaknya sebagai "disabled" karena topiknya memang mengenai kasus diskriminasi masyarakat tersebut. Kedua, saya lalu melihat prefiks "di-" di di-fabel sebagai kata kerja di pukul, di bersihkan, dll, tapi kayaknya "fabel" itu artinya cerita dan, sepengtahu saya, tidak lainnya kecuali kalau istilahnya baru. Ini juga salah. Ternyata, difabel itu dif-abel, atau different-ability. Juga, jika saya membaca different ability, ini juga tidak membuat saya sebagai pembaca langsung mengerti, walaupun maksudnya politically- correct --apakah ada istilah Indonesia untuk "politically- correct". Maaf, saya belum tahu. Jika kita menggunakan istilah "vertically- challenged" untuk orang kerdil atau "visually-impaired" untuk orang tuna-netra, kita bisa langsung mengadakan asosiasi logika dan kurang lebih mengerti apa maknanya tanpa perlu memikir panjang lebar. Saya tidak bisa mengadakan asosiasi logika yang serupa dengan "different ability". Apa yang beda? Spesifikasinya kurang jelas. Pokoknya bingung. Alhasil, difabel itu istilah yang kita terima saja apa adanya, dan tidak untuk diperdebat apa logika yang mendukungnya.


Wednesday, March 14, 2007

Virgins From Hell (Perawan Disarang Sindikat)

AKA: Perawan Disarang Sindikat

Country and Year: Indonesia (1987)
Director: Ackyl Anwari
Starring: Enny Beatrice, Yenny Farida, Harry Capri, Dicky Zulkernaen

Review By: David Austin
Rating: 3 out of 4 stars (good)

Is that more comfortable?

Virgins from Hell kicks off in grand fashion with a veritable army of busty biker chicks in leather short-shorts whooping ass on a gambling parlor, tearing around on dirt bikes, and crashing through walls in battle jeeps adorned with skulls-and-crossbones. It’s as good as it sounds. Most people probably won’t need to know more than that to decide if this is the right movie for them.

Pardon me, but is that a knife in your breast pocket?

VFH is a pure product of the ‘80s, a bastard child of the Roger Corman Filipino women-in-prison (WIP) films, and Golan and Globus’s patented low-budget Cannon cheesefests like American Ninja. Indonesian artisans added their own touches, ratcheting up the gore while combining obviously exploitative subject-matter with a demure ban against nudity. This is the kind of movie where the girls have catfights and shower together, but do it in their bathing suits.

Bazooka

Unlike many other Indonesian films released in the US, like The Stabilizer, Lady Terminator, Mystics in Bali, and Dangerous Seductress, VFH seems to be an entirely local production, not relying on the presence of foreign actors and actresses of dubious talent to draw foreign box office. Not to say that the indigenous talent on display is any better in a technical sense, but there’s a certain charm that is lost when the locals have to play second fiddle to some stiff import (Italian movies both prove, and break, this rule).

Larry, Man of Science

Virgins from Hell follows the trials and tribulations of Sheila (Enny Beatrice) and her gang of tough biker chicks, who are out to destroy the villainous Mr. Tiger (Dicky Zulkarnaen). Mr. Tiger killed Sheila’s parents in order to use their home as a base for his villainy (like so many blaxploitation villains before him). He and his scary tranny sidekick Dutch have turned the place into a fort, and are now running experiments in the basement in order to develop a potent aphrodisiac (I’m not sure that the actress playing Dutch is actually a tranny, but … damn).

Sheila’s Speech

Sheila, after a rousing speech, leads her mini-army in an all-out frontal assault on Mr. Tiger’s compound. Why they don’t have more of a plan must remain forever a mystery, much like the question of why Mr. Tiger would build sandbag emplacements that face onto his own fortress. After the attack fails, Sheila, her sister (Yenny Farida), and her girlfriends are left at the mercy of Mr. Tiger, who puts them to work and goes out of his way to devise baroque tortures involving rotisserie grills, barbed wire swing playsets that would make any parent cringe, and the ever-popular “Hungry Mongoose” game.

Girls with Guns

Tiring of hauling coconuts (double-entendre intended), Sheila teams up with Larry (Harry Capri), an overall-wearing, two-fisted man of science, to bring down Mr. Tiger once and for all. Natch, this requires tons of carnage and skimpy outfits.

Check for more here: Virgins From Hell: Dirt Bikes, Go-Go Boots, and Bazookas From Indonesia

The Devil’s Sword (Golok Setan)

AKA: Golok Setan

Country and Year: Indonesia (1984)
Director: Ratno Timoer
Starring: Barry Prima, Advent Bangun, Enny Christina, Gudhi Sintara, Kandar Sinyo

Review By: David Austin
Rating: 3 out of 4 stars (good)

Devils Sword Golok Setan Banyu Jaga Mondo Macabro

If what the movies teach is true, I want to move to Indonesia. Apparently the entire country is populated with snake queens, crocodile men, witches with removable heads, and armies of busty biker babes in pleather. Indonesian film studio Rapi Films experimented with a lot of different genres during its heyday, including ninja-sploitation (The Warrior and the Ninja), women-in-prison films (Virgins from Hell), and war epics (Hell Raiders). The Devil’s Sword clearly aimed to ride the coattails of 1982’s mega-hit Conan the Barbarian, combining it with the formula that made their indigenous sword and sorcery series The Warrior (Jaka Sembung) so successful – wild costumes, over-the-top violence, and martial arts courtesy of Barry Prima. Finally, the filmmakers overlaid the proceedings with a prog-rock synth score guaranteed to remind you that the film was made in the ‘80s.

Watch the fingers! Devils Sword Golok Setan Mondo Macabro

All is well in old Indonesia until the predatory (and horny) Crocodile Queen decides she wants Sanjaya, the engaged son of a local village headman. The Queen (Gudhi Sintara) lives in a vast cave under the water with an army of crocodile men and chunky servant girls, and a pit full of starved male sex slaves. When the village defies her, she sends warrior Banyu Jaga (Lo Lieh-a-like Advent Bangun) to kill every last villager until they give in, which he proceeds to do with great abandon. Banyu Jaga is by far the most fun character in the film – he flies around on a giant rock scowling, beheading villagers with his twin hooked swords and reveling in his own evil.

The Crocodile Queen’s Lair Devils Sword Golok Setan Mondo Macabro

While Sanjaya and most of the villagers are complete wusses, his fiancé (played by Enny Christina) is not willing to give up her man without a fight and takes on Banyu Jaga with her all-purpose umbrella. She’s tough, but not as tough as Jaga. Fortunately, that’s when local wandering hero Mandala (Barry Prima) shows up on the scene. Mandala defeats Banyu Jaga but is unable to prevent him from abducting Sanjaya. After visiting his master (Kandar Sinyo), who was injured by the treacherous Jaga, and learning of the all-powerful Devil’s Sword which was forged from a meteorite, Mandala teams up with Enny Christina (her character’s name is not used in the English dub) to rescue her husband from the Crocodile Queen. Meanwhile, Jaga’s newly league of Evil Warriors isn’t working out so well – the first motion at their meeting, carried unanimously, is in favor of killing each other.

Wanna more? follow this link The Devil’s Sword: Indonesian Sword and Sorcery Epic