Thursday, March 15, 2007

Tentang Disable dan Difable

Dikalangan pegiat LSM istilah Difable tentu tidak asing tapi bagi kalangan masyarakat yang lain istilah ini tentu sangat asing dan mengundang diskusi yang menarik. Berikut petikan dari diskusi yang muncul mengenai masalah ini di milis permias hawaii. Just for thought.

Kotributor Ulrich Kozok, Muhamad Ali dan Hari Roosman, sesuai urutan:
------------------------------------------------------------------------------

Dalam bahasa Indonesia sudah ada kata cacat dan penyandang cacat. Apaakah berkurang cacatnya seseorang kalau ia disebut difable? Eufemisme ( penghalusan bahasa) dalam bahasa Indonesia mempunyai sejarah lama, dan banyak eufemisme diciptakan di zaman rejim orba yang tidak pernah “menaikkan” dan hanya “menyesuaikan” harga BBM dan masalah gelandangan diselesaikan dengan istilah tunawisma. Di Amerika kejahatan perang disebut “war crimes”, tetapi kata tersebut pantang diucap kalau Israel yang melakukannya dalam hal mana istilah “violation of humanitarian law” digunakan. Pembunuhan warga sipil oleh tentara Amerika disebut “collateral damage” dan bukan “civil casualties” meskipun pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Terlalu sering eufemisme menyelubungi kemunafikan sehingga kita harus sangat berhati-hati menggunakan eufemisme. Saya juga lebih tidak setuju kalau dipinjam istilah dari bahasa asing (apakah bahasa Indonesia dianggap kurang bergengsi?), apalagi dalam hal penciptaan akronim yg notabene tidak ada dalam bahasa Inggris.

Yang berikut ini bukan dari saya sendiri, melainkan saya kutip dari http://priyadi. net:

“Yang menjadi masalah adalah istilah ‘difable’ tidak mengikuti kaidah ejaan bahasa Indonesia dengan benar. Jika memang ‘difable’ adalah singkatan yang berasal dari frasa dalam bahasa Inggris, maka setelah melalui proses penyerapan seharusnya paling tidak akan menjadi ‘difabel’. Sisi positifnya, penggunaan kata ‘difabel’ ternyata memang sudah lebih banyak daripada kata ‘difable’. Pencarian di Google mencatat ada 600 penggunaan kata ‘difabel’ dan 388 kata ‘difable’.

Masalah lainnya yang lebih serius adalah bahwa banyak orang Indonesia yang tidak menyadari bahwa ‘difable’ bukanlah sebuah kata dalam bahasa Inggris. Istilah ‘difable’ ini dibuat oleh orang Indonesia, digunakan hanya oleh orang Indonesia, tidak ada dalam kamus bahasa Inggris apapun dan tidak pernah digunakan oleh orang berbahasa Inggris. Ini cukup serius karena saya lihat cukup banyak literatur berbahasa Inggris buatan orang Indonesia yang menggunakan istilah ‘difable’ ini.”

Jadi sudah jelas ada kerancuan bahasa yang terlalu sering terjadi dalam hal penyerapan bahasa asing yang malahan dapat melahirkan istilah superrancu seperti “Pemberdayaan Gender”.
--------------------------------------------------------------------------------

Kawan-kawan,
Menarik sekali diskusi soal bahasa ini. Jadi ingin nimbrung sedikit nih, disela nulis disertasi. Pendapat saya, bahasa itu dibentuk oleh masyarakat. Bahasa itu berkembang dari waktu ke waktu. Bahasa itu tidak statis. Bahasa dicipta, sebagian bertahan, sebagian punah, karena masyarakat tidak memakainya. Jadi ada hubungan erat antara bahasa dan penggunanya. Jadi, bisa saja, ada bahasa yang kedengaran asing, nyeleneh, tidak lazim, tapi kemudian lambat laut diterima sebagian masyarakat. Ada pula istilah-istilah yang sebelumnya tidak ada dalam suatu masyarakat tapi kemudian muncul dari bahasa asing dan kemudian diinternalisasi masyarakat itu. Bahasa "Indonesia" adalah percampuran bahasa-bahasa asing (Arab, Cina, Melayu, Belanda, Inggris, Portugis, dan bahasa-bahasa suku yang ada). Karena itulah ada standardisasi bahasa nasional yang dilakukan oleh Departemen Agama, sehingga mereka buat kamus umum bahasa Indonesia. Namun, meskipun ada standardisasi bahasa nasional ini, tidak berar
ti bahasa-bahasa yang tidak standar tidak bisa digunakan oleh masyarakat tertentu.

Yang menjadi persoalan dan perlu dikritisi adalah maksud penggunaan istilah-istilah itu, dan apa makna sesungguhnya. Karena bahasa adalah alat komunikasi antara si penulis/penutur dan si pembaca/pendengar, maka perlu ada KESAMAAN MAKNA dari istilah yang digunakan, sehingga komunikasi berjalan efektif. Saya ingat perkataan Claude Levi-Strauss yang pernah saya kutip dalam sebuah artikel saya di jurnal di Paris. Saya tulis, "I would agree with the French philosopher Claude Lévi-Strauss. “Words”, he says, “are instruments that people are free to adapt to any use, provided they make clear their intentions.” Categorization becomes useful and helpful if it clarifies what one is trying to say in order to facilitate communication and understanding. However, while clarity is important in the academic enterprise, the content of any category can be questioned and debated based on new perspective, new materials, or both." Jadi, kata-kata itu adalah alat yang orang bebas mengadaptasinya
sejauh dia menjelaskan maksudnya.

Soal lain adalah masalah motivasi dan kepentingan dibalik penggunaan istilah-istilah. Kepentingan politik sering sangat mempengaruhi penggunaan istilah-istilah tertentu sebagai penghalus; maka tugas masyarakat adalah mengkritisi istilah-istilah itu. Masyarakat ada yang cukup cerdas dan yang pengekor saja. Namun istilah-istilah itu akan mati sendiri kalo masyarakat dan zaman tidak lagi menganggapnya sebagai "pantas", "enak didengar", "menarik", "keren", dan sebagainya.

Kesimpulan saya adalah, dalam menanggapi kata-kata baru, kita perlu kritis, tapi kita tidak perlu langsung menerima atau menolaknya. Masyarakat lah, termasuk kita, yang menentukan, apakah istilah-istilah tertentu layak bertahan atau mati dikubur zaman.
------------------------------------------------------------------------------

Seperti Ali menunjukkan, Bahasa Indonesia memang senantiasa berkembang dan kaya karena pengaruh Bahasa Arab, Belanda, Melayu, Sanskerta, Tionghoa, dan lainnya. Sesungguhnya Bahasa Indonesia itu indah dan kaya. Contohnya, sewaktu saya pernah membaca "Harimau Harimau" oleh Mukhtar Lubis. Buku ini dalam bahasa Indonesia , sangat bagus dan salah satu buku kesayangan saya. Beberap tahun kemudian, saya membaca terjemahannya Inggrisnya. Versi Inggrisnya sama sekali tidak mendekati keindahan dan dampak versi asli (Begitupun jika anda menonton film asing. Jauh lebih bagus dan berkesan jika menggunakan sub-text daripada dubbing Inggris).Perhatikan juga gaya tulis Mukhtar Lubis dan penulis perdana lainnya; mereka cenderung untuk menggunakan Bahasa yang murni, dan menggunakan istilah-istilah Barat sejarang mungkin.

Yang saya tidak setuju adalah pertama, penggunaan istilah Barat bilamana kata Indonesia mencukupi; dan kedua, untuk pamer pendidikan atau status sosial. Ini sama saja dengan Bahasa Inggris , Indonesia , dan Bahasa apapun: gunakan kata yang sederhana yang semua pembaca dapat mengerti. Contoh bagus adalah bahasa gaya jurnalis; anda membaca kalimat sekali dan langsung mengerti tidak perlu mengulang kembali kalimat itu, dan, anda tidak perlu konsultasi kamus untuk istilah-istilah aneh. Sebelum menulis, perlu anda kurang lebih ketahui target pembaca anda. Jika pembaca anda adalah anggota masyarakat ahli bahasa, penggunaan istilah "silogism", "aliterasi", "hiperbola", dll. bukan masalah. Kalau sekiranya ada kemungkinan tidak akan mengerti istilah baru, paling tidak perlu diberi keterangan singkat. Memang, risikonya jika anda perlu memberi ke pembaca luas keterangan istilah-istilah asing, pembaca dapat merasa penulis menulis 'ke bawah' kepada pembaca tingkat pendidikannya lebih rendah. Jadi, untuk menghindari semua ini, hemat saya, dari pertama lebih baik menggunakan istilah sederhana saja. Sebenarnya dalam menulis jika anda berusaha lebih keras, kalimat dan kata itu bisa dibuat sederhana untuk dimengerti hampir semua pembaca . Lihat para pengacara wahid dalam kasus-kasus yang sangat rumit seperti kasus Enron. Mereka dapat menjelaskan kepada juri awam yang tidak tahu apa-apa tentang konsep-konsep rumit yang meliputi valuta asing, pensiun, akuntansi. Hampir selalu, mereka menggunakan istilah-istilah sederhana yang dimengerti semua pembaca dan pendengar. Saya teringat nasihat Albert Einsten, "buatlah sesederhana mungkin, tapi tidak lebih sederhana dari itu."

Menurut pengamatan saya, penggunaan istilah-istilah Barat, khususnya Inggris, didalam Bahasa Indonesia juga disalah-gunakan sebagai status sosial atau sumber gengsi. Menggunakan kata-kata atau istilah-istilah Indonesia yang bersumber dari bahasa Arab, Tionghoa, Melayu, saya rasa tidak untuk tujuan elitis seperti ini. Saya sering membaca wawancara-wawancara di majalah Indonesia , atau teman-teman di Jakarta mencampur aduk Bahasa Indonesia dengan kata-kata dan istilah Inggris. Apakah orang lebih bergengsi jika mencampur aduk Bahasa Indonesia anda dengan istilah Inggris. Menurut saya tidak. Ini juga pengaruh "Singlish", atau bahasa Melayu-Inggris yang biasanya digunakan di kota-kota metropolitan Malaysia dan di Singapura. Jika di Malaysia atau Singapura, jika anda bercakap Singlish, konotasi elitismenya adalah anda dari kota metropolitan daripada dari desa, lebih berpendidikan, dan status ekonomi dan sosialnya lebih tinggi. Pokoknya lebih bergengsi deh kalau anda bercakap Singlish. Jika mereka menganggap logat Singlish keren, ada masyarakat luas termasuk saya yang gregetan dan geleng-geleng kepala karena menganggapnya justru sebaliknya. Kalau menggunakan, "It's OK" atau "Oh, my God",ya..ya deh..wajarlah, tapi sering sekali terlalu dipaksakan. Saya ingat ada yang pernah bilang kenapa, "Eh, face lu kenapa?". Kenapa tidak bilang, "Eh, muka lu kenapa?". Susah amat. Kalau menggunakan Singlish karena memang itu memang standar percakapan diantara komunitas dan lingkungan tertentu ya tidak apa-apa, tapi kalau menggunakan campur-aduk Melayu/Indonesia dan Inggris untuk pamer Inggris dan status sosial, itu lain perkara. Seperti pamer jurus silat, jika orang menggunakan istilah-istilah Inggris di dalam Bahasa Melayu/Indonesia mereka, belum tentu mereka bisa menggunakan Bahasa Inggris yang baik jika mereka menggunakan Bahasa Inggris dengan seluruh.

Kesimpulan saya adalah kata difabel itu membingungkan dan saya yakin ada istilah lain dari Bahasa Indonesia sendiri yang lebih baik digunakan. Dari sekian ribu ahli Bahasa Indonesia, tentu ada istilah lebih baik yang dapat digunakan. Jika menelaah latar belakangnya tanpa pengetahuan apa-apa mengenainya, saya berani tebak 8 dari 10 orang tidak akan tahu bahwa ini berdasarkan singkatan dua kata Inggris, dan lebih membingungkan lagi, istilah ini tidak berlaku di tempat asalnya sendiri. Dan kata ini menggangu momentum dan pola pikiran topik yang kita baca – perlu kita Google dan cari di kamus dan tanya sana sini. Apa yang menjadi diskusi mengenai peraturan UGM yang perlu diralat menjadi diskusi mengenai kata -- bukan masalah diskusi bahasa, tapi mencong jauh dari topik aslinya. Ini kesalah-pahaman saya dalam interpretasi difabel: Pertama, kesalah pahaman saya adalah menebaknya sebagai "disabled" karena topiknya memang mengenai kasus diskriminasi masyarakat tersebut. Kedua, saya lalu melihat prefiks "di-" di di-fabel sebagai kata kerja di pukul, di bersihkan, dll, tapi kayaknya "fabel" itu artinya cerita dan, sepengtahu saya, tidak lainnya kecuali kalau istilahnya baru. Ini juga salah. Ternyata, difabel itu dif-abel, atau different-ability. Juga, jika saya membaca different ability, ini juga tidak membuat saya sebagai pembaca langsung mengerti, walaupun maksudnya politically- correct --apakah ada istilah Indonesia untuk "politically- correct". Maaf, saya belum tahu. Jika kita menggunakan istilah "vertically- challenged" untuk orang kerdil atau "visually-impaired" untuk orang tuna-netra, kita bisa langsung mengadakan asosiasi logika dan kurang lebih mengerti apa maknanya tanpa perlu memikir panjang lebar. Saya tidak bisa mengadakan asosiasi logika yang serupa dengan "different ability". Apa yang beda? Spesifikasinya kurang jelas. Pokoknya bingung. Alhasil, difabel itu istilah yang kita terima saja apa adanya, dan tidak untuk diperdebat apa logika yang mendukungnya.


No comments: